Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. [QS. Ar-Rum ayat 21]
Hadis Nabi saw :
يتنس نع
بغر نمف ىتنس حاكنلا : ملسو هيلع
ىلص هللا لوسر لاف
ىنم سيلف
Pernikahan adalah perbuatan
yang selalu diinginkan dan didambakan oleh setiap manusia yang hidup.
Pernikahan itu adalah sunnah Nabi [ىتنس حاكنلا], maka barang siapa yang tidak melaksanakan nikah, kata Nabi saw
bukan golongannya [نع بغر نمف ىنم سيلف
ئتنس]. Pernikahan harus didasarkan pada agama, ibadah,
dan menjalankan sunnah Nabi saw, dan bukan didasarkan pada nafsu belaka atau didasarkan
tujuan lain yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.
Pernikahan harus atas dasar
suka sama suka, saling cinta, bukan dasar paksaan, dan bersandar pada ibadah
kepada Allah. Sebab, dalam menjalani kehidupan bahtera rumah tangga, bagaikan
orang mengarungi samudra luas dan penuh dengan gelombang, pada siang, malam,
panas dan hujan bahkan badai dan genlombang harus dilalui. Mungkin saja, cuaca
tidak bersahabat yang tidak pernah kita prediksi yang dapat saja datang secara
tiba-tiba.Kita harus selalu siap untuk menghadapi dan selalu mengantisipasi
setiap perubahan. Maka, apabila seseorang dalan menjalankan rumah tangga tidak
memiliki dasar, pedoman, mesti akan terombang-ambing dalam perjalanan rumah
tangganya. Dalam berumah tangga, kita akan melalui perjalanan panjang dan
sangat melelahkan dengan tujuan untuk mecapai “pantai kebahagiaan” yang sakinah
dan diridhoi Allah. Untuk mencapai “pantai kebahagian” tersebut, tentu saja
kita harus:
[1]mempersiapkan diri dan mental, baik suami maupun istri,
[2]mempersiapkan berbagai keperluan dan bekal agar perjalanan
kita terasa aman, nyaman, dan lancer, sebab apabila datang badai dan gelombang,
kita akan siap menghadapinya dengan sikap tenang, tidak grogi, tidak takut dan
tidak gentar sekalipun dahsatnya badai dan gelombang tersebut, sebab kita
memiliki dasar [agama] dan pedoman [al-Qur’an dan Hadis].
Untuk mengarungi perjalanan
[rumah tangga] itu dengan baik dan lancar, kita perlu mempersiapkan: Pertama,
kapal [rumah tangga] yang kokoh agar tidak macet dalam perjalanan. Kedua, mesin
yang betul betul baik. Ketiga, bahan bakar yang cukup dan memadai. Keempat, membawa
peta dan kompas sebagai pedoman perjalanan agar tidak sesat dalam perjalanan.
Kelima, membawa peralatan yang memadai untuk mengantipasi macet. Keenam, nahkoda
yang pandai, lihai, dan memiliki strategi untuk mengemudi kapal. Ketujuh,
membawa bekal yang cukup dalam perjalanan.
Pertama :
Rumah Tangga [ةرسالا],
bagaikan kapal [bahtera] yang kokoh. Rumah tangga, harus dibangun atas dasar
taqwa, cinta, suka sama suka dan didukung dengan kedua belah pihak keluarga
yang merestui serta mengharapkan ridho Ilahi. Selain itu, harus mempunyai niat
dan kebulatan tekad untuk berumah tangga atas dasar lillahita’ala, dengan ibadah
[salat] – Insya Allah, rumah tangga akan kokoh. Berumah tangga itu sendiri juga
sebagai perilaku ibadah kepada Allah dan menjalankan sunnah Nabi saw ىتنس حاكنلا
Kedua :
Hati [بلقلا], sebagai mesin yang bagus.
Artinya, suami istri harus punya tujuan yang sama. Berumah tangga bukan untuk
hanya sekedar melepas nafsu birahi, melainkan harus memiliki tujuan untuk
mencetak generasi-generasi bangsa yang baik, kuat dan tanggung serta bertaqwa kepada
Allah swt. Tanpa punya perasaan sehati, mungkin saja tujuan tidak akan
tercapai. Maka dengan dasar ini, suami istri harus tahun kepribadian
masing-masing dan inilah yang dinamakan ta’aruf فراعت
Ketiga :
Akhlak [قالخالا], sebaga bahan bakar. Dalam
berumah tangga, apabila hanya berbekal atau memiliki cinta dan perasaan saja,
tanpa dibekali dan atau dibarengi dengan akhlak mulia, jangan berandai-andai
untuk dapat menguasai medan perjuangan yang berat itu. Akhlak adalah pondasi
utama dalam beragama, kata Abul Atahiyah : الا ايندلا تسيل قالخالا مراكمبالا نيدلا سيلو نيدب,
artinya ”tidaklah dikatakan dunia kecuali dengan agama dan tidaklah dikatakan
agama kecuali dengan akhlak mulia”. Maka, kita harus membangun rumah tangga dengan
akhlak yang muliah. Akhlak sebagi pondasi utama untuk membangun rumah tangga.
Prinsip akhlak disini adalah saling menghargai, menghormati, menyayangi, penuh
dengan senyum. Sifat ini dinamakan tabassum [مسبتلا] dan sifat ini sangat dianjurkan Rasulullah saw.
Keempat :
ثيدحلاو
ميركلا نارقلا sebagai peta dan kompas.
Sebagai pedoman agar tidak tersesat dalam perjalanan dan ketika menemukan
kesulitan, keresahaan, bacalah al-Qur’an dan kemudian kembalikan atau pasrah kepada
Allah. Suami dan istri harus saling mengingatkan dan ta’awun atau kerjasama
dalam menghadapi kesulitan hidup. Semua persoalan harus diselesaikan berdua dan
selalu pasrah kepada Allah. Kata Baihaki, ءافش هللارك ذ نا, ingat pada Allah sebagai obat, dan ناو ءاد سانلاركذ ingat pada manusia penyakit يقهيبلا
Kelima :
Nasehat [ةحيصنلا], sebagai peralatan yang
dibawa dalam perjlanan. Agama adalah nasehat [ةحيصنلا نيدلا], maka kembali kepada ajaran agama Islam dalam menghadapi setiap
persoalan, sehingga mudah terselesaikan. Maka dalam kehidupan rumah tangga,
sepenuh apapun perasaan cinta suami pada istri atau sebaliknya, kesalah fahaman
dan perselisihan [baik kecil maupun besar] mesti ada. Suami dan istri harus saling
mengingatkan, saling menasihati dengan sabar antara keduanya untuk mencapai
kebaikan ربصلاب وصاوتو قحلاب وصاوتو (dan
bernasehatlah dalam kebaikan dan kesabaran) atau mungkin kita butuh
nasehat-nasehat orang tua, ustadz, tokoh masyarakat, atau orang yang lebih
berpengalaman, sebagai obat pencerahan untuk mencapai tujuan hidup yang mungkin
salah dilakukan oleh kita. Maka, setelah mendapatkan nasehat-nasehat akan
tumbuh saling percaya, saling memaafkan, dan menghargai kesalah fahaman itu.
Sikap ini dinamakan takarrum [مراكتلا]
atau saling menghargai.
Keenam :
Suami [جوزلا], sebagai nahkoda yang lihai.
Suami harus pandai memainkan peranan, dapat menjadi panutan, cerdas melihat situasi,
agar penumpang atau orang yang bersamanya merasa aman, tenang dan nyaman.
Seorang suami harus memiliki ikhtiar dalam menjalankan perannya, sehingga
seburuk apapun situasi dan kondisi yang dihadapinya, harus tenang, sabar, dan
berserah diri pada Allah اناوضرو هللا نم الضف نوغتبي, “mereka
mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya”. Maka perumpamaan seorang suami,
seperti seorang nahkoda yang menghadapi cuaca yang buruk. Dia harus tetap
tenang untuk mencapai tujuan, maka secara perlahan-lahan tapi pasti dia akan lalui
badai tersebut dan seluruh penumpang pasti akan menghormati dan menghargainya.
Penghargaan itu akan datang dengan sendirinya, mungkin saja berupa ucapan
terima kasih, mungkin ciuman, pelukan, bahkan dengan kepasrahan diri penumpang
dan penumpang tersebut tiada lain adalah istri. Sikap ini dinamakan tala’ub بعالتلا
Ketujuh :
Kepasrahan [ميلستلا], sebagai bekal yang cukup.
Dalam menjalani kehidupan rumah tangga, kita harus banyak berusaha [bekerja]
dan berdo’a (اينودلا نم كبيصن سنت الو ةرخألا رادلا هللا كاتا اميف غتباو كيلإ هللا نسحا امك نسحأو). “
carilah anugrah Allah untuk kehidupan akhirat, tetapi jangan lupa
nasib(bagian)mu untuk kehidupan dunia dan berbuat baiklah sebagaimana Allah
berbuat baik padamu”. Karena usaha atau bekerja tanpa do’a akan sia-sia, dan begitu
juga sebaliknya do’a tanpa usaha atau bekerja adalah mimpi atau angan-angan
belaka. Suami harus berusaha mencari nafkah untuk menghidupi istrinya. Suami
dan istri harus dapat bekerja sama untuk melindungi perjalanan yang panjang,
seorang suami tahu kebutuhan istri dan begitu sebaliknya istri tahu kebutuhan
suami. Dengan demikian, akan terbangun sikap saling menghargai dan toleransi
dalam berumah tangga. Sifat ini dinamakan tasamuh حماستلا
Ketujuh mutiara ini, dinamakan “Resep
agar tetap bahagia”, bertujuan yang jelas, pasti,
dan sampai dengan selamat di atas Ridho Ilahi Robbi, dengan mengucapkan :
ريخ ىف
امكنيب عمجوامكيلع كرابوامكل هللا كراب
Semoga Allah memberkahi pernikahan ananda berdua”, amien yaa robbal ‘alamiieen.